Posts Tagged ‘food truck’

Food Truck (2)

30 Juli 2015
Salah satu truk pengangkut makanan, didesain khusus sebagai warung/kedai. Tampil dalam sebuah festival makanan di JEC (foto diunggah 30 Juli 2015).

Salah satu truk pengangkut makanan, didesain khusus sebagai warung/kedai. Tampil dalam sebuah festival makanan di JEC (foto diunggah 30 Juli 2015).

Food Truck

29 Mei 2015

Makanan ataupun jajanan, memainkan peran penting dalam pergaulan; begitulah kira-kira gambaran yang tersirat dari parodi angkring tvri. Namun begitu, makanan atau jajanan menjadi hal yang berkelas manakala kemasannya sedikit beda. Merujuk dari peristilahannya saja, penggunaan istilah “kuliner” berasa membawa orang kepada lingkungan sosial dalam derajat yang lebih tinggi.

Jika dahulu kita hanya mengenal oleh-oleh, makanan khas, dan sebagainya, kini orang bertandang ke tempat jajanannya: mencicipi, membuktikan, atau menghargai suasana yang ada. Kabarnya, soal kemas-mengemas ini, memberikan penilaian yang positif di mata konsumen, menarik daya beli, sekaligus mengundang geliat wisata baru, wisata makanan.

Bila Anda bertandang ke kota A, apakah yang menarik Anda untuk mendatanginya? Tempat pelesirannya yang elok? Suasana ramah penduduknya? Keteduhan jiwa kotanya? Kenangan di dalamnya, atau makanannya? \

Dahulu, oleh-oleh, selalu identik dengan kota, mungkin juga hingga kini, tetapi dengan maraknya jualbeli daring (dalam jaringan) tampaknya batas imajiner kota menjadi makin kabur; ambillah contoh: tahu sumedang, tahu ini bahkan dijual di surabaya. Malah ada seloroh muncul dari seorang kawan dari sulawesi, itu namanya apa, untuk merujuk makanan manis berbahan tepung, yang dipanggang dengan api, kadang disebut “terang bulan” di jogja, tetapi di sana disebut “martabak bandung”, dan ketika dirinya sampai ke bandung, orang atau penjual di bandung menyebutnya “martabak manis”, jadi mana nama sebutan yang benar?

Bakpia, disebut-sebut berasal dari jogja, maka dikenal kawasan kuliner bakpia pathok, atau bakpia pathuk (?). Pernah saya ditanya, bakpia mana yang enak di jogja? Saya keberatan menyebut angka, karena dikira menyebut merek atau promosi merek tertentu, tetapi saya pilih untuk menunjukkan, o, bakpia dapat dijumpai di sana, di kawasan bernama pathuk, meski kemudian untuk di jogja, tempat itu sulit dijangkau, karena relatif masuk ke jalan yang sempit, di mana bus-bus besar sulit menjangkau. Ada kemudian pemodal besar atau pedangang bermodal besar, membidik jalan-jalan besar, atau jalan-jalan utama sebagai tempat mendirikan toko, dan memberi titel pathuk, atau bakpia pathuk dan seterusnya, meski tidak di kawasan pathuk itu sendiri. (Mengenai ini, tampaknya ada yang kemudian mulai sadar mengenai pentingnya merek, maka belakangan mereka berinovasi dengan memasarkan merek sendiri, masih menyebut penganannya bakpia, tetapi tanpa menyebut pathuk.) Maka jadilahbakpianya atau toko oleh-olehnya disambangi para pelanccong dari luar kota yang berkendara bus-bus besar, (fenomena yang belakangan tumbuh di sepanjang jalan raya jogja-solo.) Berbekal lahan parkir yang luas, mengantongi keahlian memasak bakpia, maka jadilah bakpia-nya terkenal, atau katakanlah selera rasanya enak di mata pelancong.

Berbeda dengan toko-toko atau warung-warung yang bersifat tetap atau statis, sebetulnya ada bentuk menjajakan barang dagangan melalui cara berkeliling. Ada plus minusnya. Model berkeliling merupakan suatu contoh jemput bola, di mana pedagang berjalan berkeliling dengan menjajakan barang dagangannya melalui atau menuju tujuan khusus. Misalnya, tukang mie keliling, tukang bakso, mie ayam, penjual sate, dan seterusnya. Mereka umumnya menggunakan gerobak dorong, menaiki sepeda, atau membawa sepeda motor. Masih jarang memag yang menggunakan roda empat, sebab ini mencirikan pemodal besar. Pedagang keliling umumnya bermodal kecil, makanya berjalan kaki, lalu mangkal di suatu tempat, atau mengambil rute tertentu, sampai dagangannya laku terjual, atau cukup menurut pertimbangannya. Bagaimana dengan “food truck”?

“Food truck” muncul belakangan saat saya mengamati foto-foto yang tayang di suatu media sosial yang diunggah seorang kawan. Food truck atau harfiahnya adalah truk keliling untuk menjajakan makanan, amat jarang dijumpai di Jogja, setidaknya pada era-era sebelum media internet berkembang seperti sekarang ini. Tampaknya, istilah ini muncul ditarik dari pengalaman berdagang di luar negeri. Baru-baru ini, sekilas saya sempat menonton siaran televisi yang menayangkan di luar negeri sono ada bentuk pedagang kaki lima yang mengambil bentuk gerobak dengan food truck. Tentu di Amerika sono, harga truk terhitung kompetitif, ketimbang kita menggunakan sepeda atau gerobak dorong yang berkesan kumuh atau kurang higienis.

Food truck yang dijumpai di Amerika, menjadi ciri “transformasi” kebangsaan yang dibawa migran dari Indonesia. Sementara itu, di Indonesia, food truck menjadi ciri transformasi masyarakat urban di kota-kota besar. Pertama, saya menangkap gagasan food truck ini muncul dari Bandung, sebuah kota pesolek, fashionita, juga kota urban dengan kota pendidikan, yang juga jadi jujugan banyak etnis, suku, atau bahkan kebangsaan yang singgah di Paris van Java itu. Food truck yang belakangan muncul juga di Jogja memberikan kesan kemasan baru gerobak pedagang kaki lima. Eksistensinya ditangkap sebagai daya tarik dalam suatu acara festival makanan yang digelar oleh pemerintah setempat dan komunitas kuliner, seperti tampak dalam suatu pameran di Jogja Expo Center awal Mei tahun ini.

Food truck sepertinya merupakan transformasi gaulnya anak-anak muda, dari angkringan gerobak dorong, identik menengah bawah, menuju papan kongko bermakanan berkelas, angkringan modern gaya baru. Sama-sama, barangkali menyajikan fastfood, tetapi dengan tingkat pemahaman lebih tinggi, seperti promosi non-mitcin barangkali, hingga menuju makanan identik organik, nonkolesterol, makanan sehat dan seterusnya. Suatu semangat meme meme modern mengenai arti penting makanan sehat, berkelas, dan menyenangkan.

(Catatan: Menulis mengingatkan saya, selalu kepada kawan saya, yang pernah menulis tentang saya, di blog-nya, dalam sudut pandangnya; saya selalu bermimpi menulis bebas seperti dirinya.)