Apa Kata Dunia

10 Maret 2024

“Mundane”. Kata berbahasa Inggris itu-lah yang semestinya menjadi judul tulisan ini. Penelusuran menggunakan Google-translate menghasilkan saran terjemahan seperti: biasa, duniawi, atau keduniaan. Akan tetapi, gambaran itu masih sangat asing sekiranya tidak ada deskripsi lebih lanjut. Oleh sebab itu, mundane selanjutnya diterangkan sebagai: “apa kata dunia”.

Ungkapan apa kata dunia, barangkali akan lebih jelas jika disampaikan dalam suatu kalimat tanya: apa kata dunia? Suatu pertanyaan retoris, yang menandai pertentangan diri dengan orang-orang lain. Dalam hal ini pertanyaan apa kata dunia? (suatu kalimat dalam bentuk tanya) dipakai juga untuk semacam menerangkan bahwa hal-hal yang berada dalam diri, sepertinya keliru, salah, atau tidak berpadanan dengan dunia. Karenanya, seseorang atau diri dapat menjadi resah atau tidak bahagia. Sebab, jika yang dalam diri (yang tampaknya keliru, salah, atau tidak berpadanan dengan dunia) itu sampai terpublikasikan luas ke dunia, dunia dapat mencibir. Akibat lanjutannya, diri kehilangan “citra”-nya.

Namun, itu-lah masalahnya. Bukan kodrat-nya diri mencari citra-nya dari dunia. Citra itu melekat dengan sendirinya dalam diri. Bahwa dapat barangkali dalam dunia terdapat suatu corak tentang citra diri yang diterima luas oleh dunia, tidak kemudian diartikan citra itu berasal dari dunia atau citra itu tidak ada sebelumnya dalam diri. Oleh sebab itu, kata mundane dipakai justru untuk “arti” (konteks) mempertanyakan atau mengoreksi: mengapa diri dipaksa untuk menyama-nyamakannya dengan dunia. Maka menjadi mundane kemudian diartikan sebagai menjadi sama seperti dunia. (Itu dengan mengandaikan pandangan kemungkinan, citra itu sebelumnya tidak bersama-sama dengan dunia.)

Oleh sebab itu, menjadi mundane berarti merosot-nya nilai diri (“citra” diri) akibat dikorbankan untuk dikatakan sama dengan nilai diri yang disebutkan dunia. Karena dikorbankan, nilai diri itu berarti melarut; merosot kedudukannya dari sesuatu yang berharga menjadi biasa-biasa saja, yakni menjadi tepat seperti apa kata dunia. Jadi, demikianlah barangkali alasan dari munculnya saran terjemahan yang diperoleh untuk kata mundane ke dalam bahasa Indonesia, yakni biasa, duniawi, atau keduniaan.

Paduan Suara

3 Februari 2024

Kadang politik pun digambarkan dari sudut pandang ilmu musik. Jika masyarakat polis itu memiliki suara, kebenaran dapat dipenuhi jika suara masyarakat polis adalah suara Tuhan. Sebab, bukankah dengan meletakkan Tuhan yang adalah sang kebenaran pada suara masyarakat polis, kebenaran itu menjadi tercapai?

Barangkali itulah paduan suara. Paduan suara adalah terdiri atas banyak suara. Umumnya orang dapat menyebutkannya suara 1, suara 2, suara 3, dan seterusnya. Anggaplah bahwa sejumlah suara berbeda-beda berada dalam suatu kumpulan masyarakat polis, tetapi bagaimana menimbang dari sejumlah suara berbeda itu ada kebenaran? Bukankah dengan mengandaikan suara 1 sebagai kebenaran, suara 2, suara 3, dan seterusnya menjadi tersisih kansnya sebagai pemilik kebenaran? Akan tetapi, apakah semua suara itu, yang berbeda-beda itu bisa memiliki kebenaran?

Paduan suara selanjutnya dipakai sebagai suatu pendekatan dicapainya kebenaran. Semua suara yang berbeda-beda itu diizinkan untuk menyampaikan kebenaran-kebenarannya melalui suara-suaranya. Suara 1 bertemu suara 2, suara 3, dan seterusnya, dan terdapat suatu harmoni, dengan tidak mengganggu kesan dari yang mendengar. Enak, nyaman, tidak terganggu. Maka, kebenaran dalam suatu paduan suara diperoleh. Kebenaran itu dalam hal ini diartikan kerasannya telinga dan hati pendengar.

Ada kalanya suara 1 belum menimpali suara 2, suara 3, suara lainnya, tetapi di suatu waktu mengisi. Kebenaran tiba-tiba menjerit di sana. Kegelisahan muncul, tidak dari yang sudah dipandang harmoni oleh penyusun komposisi, tetapi oleh pendengar. Pendengar agaknya dapat berbeda pandangan dengan komposer, yang menyusun kebenaran musiknya. Kalau demikian, dapatkah kebenaran sekadar tentang suara-suara? Agaknya, dalam pendengar, pemusik, komposer, dan suara-suara paduan suara itu pun mengajak pula suara hati masyarakat polis untuk menunjuk kepada kebenaran yang lebih luas, yang mungkin adalah kebenaran yang sesungguhnya.

Eksistensi dari Sebuah Blog

31 Desember 2023

Blog ini mengakhiri tahun 2023 dengan diterimanya beragam tawaran. Paling tidak ketika login, semacam masuk dan membuka pintu, kita menjumpai di pintu depan terselip sejumlah surat tawaran. Apakah isi surat tawaran itu? Apakah tawaran perlu dibalas? Ataukah surat masuk perlu ditanggapi? Namun, sebagian besar adalah tentang bergabung dengan klub ini atau klub itu dengan ongkos tertentu; sekalipun, tentu ada daya pikat tersendiri dari kemungkinan jika bisa bergabung di sana.

Artinya, pilihan untuk mengeluarkan ongkos tambahan untuk blog ini sepertinya tidak hendak dilakukan. Cukuplah bahwa kami menumpang di sini, yang mungkin oleh tuan rumah (pemilik domain) akan berpikir dua kali ketika terus kami tumpangi. Akan tetapi, hal itu juga setidaknya menjadi amatan sekilas berkait “domain-gratis” yang diperoleh. Jadi, sekalipun barangkali nasib blog ini adalah menumpang dengan tidak membayar, semoga saja pihak yang ditumpangi juga mendapatkan manfaat: namanya turut dikenal dari klik atau pembaca yang kebetulan mampir di blog ini.

Akan tetapi, pengalaman menumpang itu juga membawa pemikiran tentang nasib. Jika blog ini sudah terisi kata-kata, pepat dengan gambar atau video, maka mungkin di situlah titik untuk mulai berpikir tentang membayar atau malah mencari tempat lain untuk menumpang lagi. Itulah eksistensi dari suatu blog. Eksistensi yang memiliki kerentanan. Padahal apabila tidak diisi apa-apa, bukankah semestinya eksistensi itu akan langgeng? (Namun, tidakkah dengan demikian eksistensinya menjadi bertentangan dengan esensinya sebagai blog?)

Jadi, nasib blog ini agaknya ditentukan oleh dua hal: eksistensinya dan esensinya. Eksistensinya dapat saja gugur jika tiba-tiba jaringan terputus atau domain di sana menghilang. Meskipun begitu, apakah esensinya turut hilang manakala eksistensi itu tidak ada lagi?

Dilema Civil Society

11 November 2023

Belakangan ini istilah civil society terhitung “ngetren”. Meski, ngetren yang dimaksud di sini bukan tentang trending topic atau topik hangat yang mengemuka di dunia daring. Artinya, ada suatu topik perlu yang mengetengahkan peristilahan civil society untuk menggambarkan suatu kehidupan masyarakat yang manusiawi.

Civil society dengan ditulis di suatu media daring memiliki aspek khususnya dalam mempercakapkan suatu dimensi masyarakat yang di luar mesin-mesin. Menjadi khusus karena dengan hadirnya koneksitas di mana-mana, yakni perangkat-perangkat yang saling terhubung, maka imajinasi manusia menjadi membayangkan bahwa “di sana” seolah-olah terdapat suatu masyarakat dengan tatanan tertentu tengah tumbuh dan terbuka kemungkinan untuk semakin bertumbuh atau bahkan berkembang.

Padahal ada manusia yang menolak bergabung dalam kumpulan mesin-mesin itu. Kumpulan mesin-mesin itu disebut manusia sebagai netizen, tetapi diragukan apakah netizen itu manusiawi. Mesin-mesin itu sangat pintar, yang karena kepintarannya dapat mengambil alih otak manusia. Oleh sebab itu, karena kepintarannya itu, orang menjadi ragu apakah kebodohan memiliki definisinya. Tentu, bukan berarti kebodohan menjadi upaya menerangkan mengenai penyangkalan untuk suatu koneksitas itu, sehingga relasi antar-netizen menjadi rusak, acak, atau kacau, yang dalam dunia manusiawi dapat pula didefinisikan sebagai kelelahan, untuk tidak menyebutnya kepada suatu kemungkinan berkait kelalaian, juga ketika manusia tidak mampu menegakkan premis adanya kemungkinan kejahatan di latar belakangnya.

Oleh sebab itu, civil society meletakkan diri kepada makna baru: masyarakat di luar mesin-mesin. Masyarakat di luar mesin-mesin itu adalah juga manusia dan bukan mesin. Masalahnya, mesin-mesin karena semakin pintar agaknya dapat juga merasa dan mengendus upaya pembangkangan manusia dari mesin-mesin, yakni berusaha lari dari kedudukan sebagai netizen, yaitu lari dari masyarakat warga dunia daring. Upaya kabur manusia ini sedang diperkarakan oleh suatu dunia daring yang menyebut dirinya smart-city.

Apakah pembangkangan berhasil atau apakah civil society tergusur, sementara ini semua orang tidak ada yang tahu, selain bahwa artificial intellegence tetap menghendaki agar manusia terus dalam pengawasan mereka, ke dalam jaring-jaring koneksitas netizen. Itulah dilema civil society.

Buku Elektronik

18 Oktober 2023

Sepuluh tahun lalu sebetulnya buku elektronik sudah mengemuka. Artinya, sudah diwujudkan. Namun, yang menjadi pertanyaan, membacanya bagaimana?

Membayangkannya sebagai suatu buku fisik, buku elektronik seharusnya akan sama konkretnya dari dipertahankannya kata “buku”. Namun, apakah embel-embel elektronik menjadikan wujudnya adalah dalam sinyal-sinyal listrik? Jika wujudnya dalam sinyal-sinyal listrik, apakah tidak menyusahkan pembaca dalam memegangnya?

Akan tetapi, agaknya praktik gampang-nya sementara itu-lah yang berlangsung hingga dewasa ini. Istilah buku elektronik jauh disederhanakan sebagai berkas dalam format pdf yang di penerbit buku sebetulnya dimaksudkan sebagai persiapan untuk naik cetak. Artinya, untuk membacanya dapat dilakukan dengan perangkat komputer yang memiliki perangkat lunak pembaca yang mampu menampilkan berkas dalam format pdf itu. Namun, terima saja bahwa istilah berkas dalam format pdf, itu-lah yang dimaksud dengan buku elektronik. Sekalipun, pertanyaan kritis mengenai buku elektronik dengan definisinya itu menghendaki ulasannya.

Perkembangan lebih maju atau setidaknya lebih memasyarakat adalah rekaman audio dalam suatu keping cakram optis. Sebelum internet berkembang dengan segala macam “alat pemutar suara berbasis digital”, cakram optis mengisi peredaran suatu rekaman musik, lagu dari penyanyi, ataupun film, yang diakses awam dengan membeli di toko kaset, misalnya. Di samping kualitas rekaman atau reproduksi suara dan gambar bergerak, wujud konkretnya tampil dalam bentuk cakram optis. Buku elektronik seharusnya pertama-tama didefinisikan dalam bentuk cakram optis itu.

Akan tetapi, apakah buku elektronik berbentuk cakram optis sebagai perwakilan untuk wujud fisiknya? Agaknya, tidak. Sebab, ketika pertama kali diwujudkan, arti buku elektronik itu adalah masih dalam ide yang disebut berkas dalam format pdf itu, dan barangkali terdorong oleh alasan agar berkesan keren dan canggih, perolehannya dilakukan dengan cara mengunduh dari suatu alamat web di internet. Padahal, berkas dalam format pdf itu bisa saja berkembang (mengalami duplikasi) dan berpindah tangan hanya dengan sarana salin dan rekat menggunakan perangkat lunak manajemen berkas.

Pendek kata, diskontinuitas teknologi (yang ditengarai dari tidak dilaluinya fase perekaman buku elektronik dalam suatu keping cakram optis) menyebabkan definisi buku elektronik adalah berkas dalam format pdf. Meskipun begitu, tidak dipungkiri bahwa penerbit buku dari mancanegara sempat memberikan suatu fase intervensi makna lewat transisi keping cakram optis untuk buku tebal semacam ensiklopedia. Namun, harga yang terhitung tinggi dan teknologi yang tidak (belum) terjangkau publik di sepuluh tahun lalu, wacana buku elektronik selanjutnya tidak berpindah ke mana-mana selain daripada definisi: berkas dalam format pdf.

Feodal atau Komunal

28 September 2023

Istilah feodal belakangan menyeruak, semacam menyibakkan diri keluar dari kerumunan kata-kata. Apakah artinya? Pertama-tama kata itu mengasosiasikan diri dengan kebangsawanan. Akan tetapi, apakah feodal adalah tentang kebangsawanan?

Apabila merujuk kepada pemakaiannya, penggunaan kata feodal agaknya lebih merujuk kepada maksud atau seruan tidak terima, tetapi juga ejekan. Semisal, seorang yang memiliki pandangan secara mendalam tentang sesuatu hal, yang artinya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah atau secara praktis dapat diterima nalar awam, tiba-tiba saja atas nama wibawa-kuasa atau kekuasaan, ditolak. Oleh sebab itu, percakapan menjadi terhenti dan pandangan yang diutarakan menjadi seakan tidak legitim. Padahal, yang menyanggah itu tidak pula bertolak dari kepakarannya juga.

Jadi, feodal adalah semacam tindakan atau suatu istilah yang merujuk kepada legitimasi kekuasaan dalam kemampuannya menolak suatu pandangan. Barangkali hal demikian adalah semacam kedudukan memveto. Akan tetapi, feodal adalah juga ejekan. Sebab, ketika seorang lawan bicara mengutarakan gagasan secara terstruktur, sistematis, dan masif (yang dalam hal ini berarti sangat akademis atau ketat secara ilmiah) yang kemudian disanggah secara semena-mena atas dasar kewenangan kuasa itu, lawan bicara dapat menggunakan kata feodal sebagai ejekan.

Akan tetapi, apakah feodal itu merupakan kebangsawanan? Agaknya, pengetahuan dengan suatu telisik mendalam dalam suatu hal memunculkan suatu fenomena yang di dunia maya dianggap tidak sopan, serta memberikan kesan individual. Artinya, kebangsawanan itu pun sebetulnya lebih merujuk kepada sikap komunal, yakni ketika hal yang individual dianggap tidak diterima oleh suatu kelompok yang dalam kehidupan sehari-harinya memberikan pendahuluan kepada hal-hal yang bersifat komunal. Feodal dengan demikian menjadi dua sisi dari individual atau komunal.

Politik adalah Perbuatan

19 Agustus 2023

Politik adalah Perbuatan (yang adalah judul pada tulisan ini) kiranya diterima sebagai proposisi. Dengan yang hendak dimaksud sebagai proposisi itu sendiri adalah suatu pernyataan hipotesis. Dalam hal ini hipotesis dimaknai sebagai semacam tesis yang disampaikan dini di awal, sebagai upaya penyampaian suatu pandangan yang hendak diberikan argumentasinya. Hipotesis barangkali semacam penegakan atas suatu kecurigaan-pandangan, atau syak-wasangka, atas dasar sinyal-sinyal yang tertangkap, yang dicocokkan dengan suatu pandangan-pandangan awal yang sudah dimiliki sebelumnya.

Politik adalah perbuatan hendak mengetengahkan suatu uraian bahwa hal yang akrab dikatakan sebagai politik sebetulnya adalah perbuatan. Sebagai contoh, seorang pembeli mencari-cari barang dari suatu tumpukan barang-serupa yang dijual di suatu pasar adalah politik untuk mendapatkan barang yang paling cocok dengan yang hendak dicarinya. Karena ia mencari-cari, hal itu berarti adalah perbuatan. Dengan upaya atau maksud mendapatkan yang paling cocok adalah menjadi latar yang dapat menegaskan bahwa perbuatan itu adalah politik. Akan tetapi, mengingat bahwa di balik maksudnya itu ia melakukan perbuatan, maka politik adalah perbuatan.

Politik adalah perbuatan dapat juga ditemukan dalam suatu contoh perbuatan seseorang menjumpai beberapa kolega untuk mengegolkan suatu proposal. Proposal adalah semacam gagasan yang bertolak dari pandangan yang diyakini memiliki nilai-baik yang menguntungkan, baik seandainya proposal itu diterapkan pada si pengaju proposal maupun kepada pihak yang diterimakannya suatu pengajuan proposal. Ketika perbuatan itu berhasil mendapatkan dukungan-dukungan, dengan kolega pendukung semisal memiliki suatu pengaruh, termasuk terhadap pihak yang dapat saja menolak suatu proposal, maka realisasi untuk disetujuinya proposal menjadi kuat. Perbuatan mendekati pihak-pihak untuk mendapatkan persetujuan atas suatu proposal adalah politik. Namun, mengingat bahwa mendekati pihak-pihak merupakan perbuatan, maka sekali lagi dikatakan bahwa politik adalah perbuatan.

Kuliah Publik

22 Juli 2023

Belakangan ketika marak migrasi orang, dari “materi” menjadi “substansi digital”, sekalipun orang masih saja menjadi materi dan tidak juga sungguh menjadi digital, sekalipun entah, apakah nanti jangan-jangan juga sungguh menjadi digital, adalah munculnya gejala semacam tersebarnya banyak materi kuliah publik.

Kuliah publik barangkali sama saja dengan di masa lalu ketika suatu televisi atau radio menjalankan fungsi pemberitaannya. Biasanya tontonan materi kuliah publik itu adalah suatu program siaran yang dikemas bermuatan pendidikan dan dilayankan untuk kepentingan masyarakat-luas. Umumnya, hal yang disampaikan adalah menyangkut kesejahteraan-kesejahteraan masyarakat-luas. Dengan kesejahteraan dapat saja merupakan suatu terjemahan dari keadaan baik, suatu well-being.

Akan tetapi, kuliah publik itu dapat barangkali disandingkan dengan semacam Universitas Terbuka, yang juga tidak dimaksudkan berpadanan dengan suatu institusi fisik bernama Universitas Terbuka, dengan materi kuliah yang sifatnya sungguh terbuka. Artinya, sejauh anggota dari suatu masyarakat-luas itu memiliki akses ke internet, kuliah publik itu dapat dijangkau. Meskipun tidak dipungkiri bahwa kuliah publik sebetulnya adalah rekaman-rekaman dari suatu perkuliahan-yang-betulan, materi perkuliahannya agaknya sengaja disebarluaskan untuk masyarakat-luas.

Jadi, ketika seseorang memutar suatu rekaman-rekaman dari suatu perkuliahan-yang-betulan, seseorang itu dapat mengalami hal yang disebut kuliah publik. Sifat akses atas suatu materi kuliah publik itu menjadi ibarat memutar kaset. Itu apabila mengandaikan tayangan-tayangan yang ada adalah ibarat kaset, perekam audio di masa lalu. Namun, apakah seandainya seseorang memutuskan mengunduh tayangan yang ada dengan maksud menjadikannya koleksi pribadi yang untuk di suatu hari nanti memutarnya tanpa harus terhubung dengan internet perlakuannya akan seperti orang membeli kaset, hal itu masih misteri. Sebab, dahulu pun kadang-kadang orang juga merekam audio-radio, membuat mixed sendiri sekalipun tak dipungkiri ada pula yang merilisnya-ulang bahkan dengan maksud “memperjualbelikan”.

Kaum Revisionis

11 Juni 2023

Apakah judul di atas langsung hendak melabelkan kepada suatu kelompok tertentu? Jika maksud tulisan ini demikian, maka segera saja seandainya naskah ini disampaikan melalui suatu media sosial yang di dalamnya terlibat aktif para aktivis sosial, perundungan dapat segera muncul.

Akan tetapi, istilah yang sekalipun memang terinspirasi kepada suatu pelabelan ini dimaksudkan lebih kira-kira dikaitkan dengan makna sejarah, dengan suatu sejarah berarti adalah yang-telah-lampau. Jadi, istilah “Kaum Revisionis” adalah istilah yang dimaksudkan dalam suatu tinjauan kontekstualisasi, tetapi juga tidak memungkiri tinjauan yang dapat melampaui zamannya atau sejarahnya. Oleh sebab itu, jika di masa lalu ada “Kaum Revisionis”, agaknya di masa kini juga bisa ada “Kaum Revisionis” (tentu dalam duduk persoalan yang boleh jadi tidak sama dengan yang di masa lalu karena mesti mengikuti zamannya). Pun, di masa datang “Kaum Revisionis” dapat hadir pula mengikuti persoalan yang timbul di masanya.

Apabila disebut revisionis, maka yang hendak diartikan dari kata itu adalah menghendaki revisi. Akhiran –onis, sekalipun merupakan imbuhan yang tidak lazim dalam suatu pembentukan kata dalam bahasa Indonesia, menampakkan suatu serapan dari tuturan asing. Maknanya barangkali mempertegas bahwa yang menghendaki revisi itu adalah “orang”. Dengan demikian, makna revisionis adalah orang yang menghendaki revisi. Oleh karena itu, gabungan kata “Kaum” dan kata “Revisionis” menjadi “Kaum Revisionis” berarti suatu kelompok besar yang terdiri atas orang-orang yang memiliki pandangan sama yang menghendaki revisi. Itulah “Kaum Revisionis”.

Anak Zamannya

7 Mei 2023

Apabila merujuk kepada beberapa kuliah publik dari pengajar filsafat, sempat mengemuka istilah “anak zamannya”. Agaknya, istilah ini cukup penting. Paling tidak untuk menandai suatu zaman atau bagaimana zaman tertentu mempengaruhi kehidupan seseorang. Ilustrasi berikut barangkali dapat mengarahkan pandangan mengenai pengertian “anak zamannya” itu.

Pada tahun 1990-an orang akan disodorkan kepada kehidupan dengan hal yang berkait dengan televisi. Namun, pada masa itu barangkali juga orang tidak selalu mempunyai televisi. Jadi, jika mengandaikan zaman itu adalah zaman televisi, orang yang belum punya televisi karenanya tidak selalu dapat dikatakan dipengaruhi televisi. Akan tetapi, justru dari suasana yang begitu, sebagai anak zamannya, maka dapat diceritakan bahwa orang tersebut adalah “anak zamannya”, yaitu zaman ketika televisi belum marak atau ketika untuk menonton televisi, ia perlu menonton di tetangga.

Anak zamannya pada periode televisi barangkali dapat juga merujuk kepada program televisi yang ditontonnya. Sebagai contoh, pada masa kanak-kanak, seseorang menonton serial televisi berupa film Si Unyil. Tontonan ini boleh jadi disimak semasa kecil, balita, hingga jelang remaja. Demikian karena teman sebaya menonton program televisi serupa, maka ada orang atau sejumlah orang yang saling berbagi dalam menyandang sebutan “anak zamannya”.

Atau, seandainya anak-anak di era tahun 1990-an menyimak obrolan orang tua mereka, maka anak-anak semestinya dapat pula mengkategorikan orang tua mereka kepada “anak zamannya”. Yaitu, zaman ketika “orang tua” susah hidup. (Susah hidup, tetapi toh memiliki anak-anak, yang anak-anaknya kadang dikisahi dengan zaman susah hidup itu.) Ada yang menceritakan mengenai celana yang berbahan kain goni, yang diceritakan banyak kutunya, atau zaman ketika makanannya adalah nasi jagung, atau zaman ketika pada waktu bersekolah tidak ada angkutan umum, sehingga mesti pergi-pulang berjalan kaki apabila hendak bersekolah, dan sebagainya. Jadi, orang tua-orang tua itu adalah juga “anak zamannya”.

Anak zamannya juga menyentuh kepada masa kini. Anak-anak masa kini memiliki kehidupan berbeda dengan anak-anak masa lalu. Apabila di masa lalu disebutkan tentang cerita Si Unyil, anak-anak masa kini sebaliknya tidak akrab dengan film itu. Pembuat program televisinya sepertinya sudah berbeda. Film anak-anak itu pada masa kini misalnya adalah Ipin dan Upin. Atau, jika ditanya tentang makanannya, juga bukan pula nasi jagung, melainkan mie instan. Dengan demikian zaman itu berbeda antara zaman dulu dan zaman sekarang. Jadi, masing-masing orang rupanya adalah memang anak zamannya.